Mitigasi Risiko Pergeseran Uu Bumn

Jakarta –
Undang-Undang (UU) Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang baru, yang merupakan pergantian ketiga atas UU Nomor 19 Tahun 2003, sudah disahkan. UU ini menenteng pergantian signifikan terhadap pengelolaan dan pengawasan BUMN, yang berpeluang membuat implikasi luas bagi perekonomian nasional. Salah satu faktor yang menjadi sorotan merupakan pergantian dalam praktik pengawasan BUMN, utamanya terkait tugas Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) selaku auditor negara.
UU BUMN yang gres menangkal kewenangan BPK dalam melakukan investigasi terhadap BUMN. Pemeriksaan oleh BPK cuma sanggup dijalankan atas undangan dewan perwakilan rakyat untuk investigasi dengan tujuan tertentu (PDTT). Hal ini berlawanan dengan UU sebelumnya, yang memamerkan kewenangan lebih luas terhadap BPK untuk melakukan investigasi terhadap BUMN. Dalam UU BUMN tersebut dinyatakan bahwa BPK sanggup melakukan PDTT terhadap BUMN, tapi mesti menurut undangan DPR. Pemeriksaan keuangan tahunan perseroan dijalankan oleh akuntan publik yang ditetapkan lewat rapat biasa pemegang saham (RUPS).
Pembatasan kewenangan BPK ini sanggup membuat risiko berupa melemahnya pengawasan terhadap pengelolaan BUMN. Padahal, pengawasan yang efektif merupakan salah satu pilar penting dalam manajemen perusahaan yang baik. Melemahnya pengawasan sanggup mengembangkan risiko terjadinya penyalahgunaan wewenang, korupsi, dan praktik-praktik lain yang merugikan negara.
Selain itu, pergantian definisi kekayaan BUMN dalam UU yang gres juga membuat potensi pertentangan dengan UU Keuangan Negara dan UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). UU yang gres meniadakan frasa “yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan” sehingga berimplikasi pada keluarnya kekayaan BUMN dari ruang lingkup keuangan negara menurut beberapa UU. Hal ini sanggup bikin ketidakpastian aturan dan menghalangi upaya penegakan aturan terhadap tindakan melawan hukum korupsi di BUMN.
Penguatan Pengawasan Internal
Untuk memitigasi risiko-risiko yang mungkin muncul akhir pergantian UU BUMN, langkah permulaan yang krusial merupakan penguatan pengawasan internal di dalam badan BUMN itu sendiri. Mengingat tugas BPK yang dibatasi, BUMN mesti bisa membangun metode pengawasan yang kuat, independen, dan kompeten. Ini bermakna pembentukan unit pengawasan internal yang tidak cuma memiliki kemampuan teknis, tapi juga integritas yang tinggi. Selain itu, penanaman prinsip-prinsip manajemen perusahaan yang bagus (good corporate governance) mesti menjadi budaya yang melekat, bukan sekadar formalitas.
Selanjutnya, transparansi dan akuntabilitas mesti menjadi landasan dalam pengelolaan BUMN. Publik berhak tahu bagaimana dana negara dikelola, sehingga publikasi pembukuan keuangan secara terjadwal dan mudah diakses menjadi keharusan. Lebih dari itu, prosedur whistleblowing yang efektif mesti tersedia, memamerkan saluran bagi karyawan atau pihak eksternal untuk melaporkan praduga penyimpangan tanpa rasa takut.
Masyarakat juga memegang tugas penting dalam pengawasan. Dengan terlibat aktif, memamerkan masukan, dan menemani informasi, penduduk sanggup menjadi kekuatan penyeimbang. Media dan organisasi penduduk sipil, dengan independensi dan keberanian mereka, sanggup menjadi garda terdepan dalam menentukan BUMN tetap berada di jalur yang benar.
Tidak kalah penting, pemerintah perlu melakukan penilaian terjadwal terhadap pelaksanaan UU BUMN ini. Jika didapatkan celah atau potensi bahaya, revisi mesti secepatnya dilakukan. UU bukanlah kitab suci yang tidak dapat diubah, ia merupakan alat untuk meraih tujuan, dan jikalau alat itu tidak efektif, ia mesti diperbaiki.
Terakhir, dengan terbatasnya tugas BPK, maka tugas akuntan publik menjadi sungguh penting, sehingga perlu adanya pengawasan yang ketat terhadap kinerja akuntan publik yang melakukan audit terhadap BUMN. Selain, pengawasan (peer review) oleh perkumpulan akuntan publik terhadap kinerja akuntan publik yang mengaudit BUMN, juga tugas BPK untuk melakukan penilaian terhadap pelaksanaan audit oleh akuntan publik yang mengaudit BUMN juga mesti dikuatkan. Dengan demikian, pengawasan terhadap BUMN tidak cuma bergantung pada satu lembaga, tapi menjadi tanggung jawab bareng dari aneka macam pihak.
Harapan
UU BUMN yang gres menenteng pergantian signifikan terhadap praktik pengawasan BUMN. Perubahan ini berpeluang membuat risiko-risiko yang perlu diantisipasi dan dimitigasi. Penguatan pengawasan internal, kenaikan transparansi dan akuntabilitas, tugas aktif masyarakat, dan penilaian terjadwal merupakan tindakan penting yang perlu diambil untuk menentukan bahwa BUMN tetap dikontrol secara profesional dan akuntabel. Tentu, kita berharap UU BUMN yang gres memamerkan kesejukan gres dalam pengelolaan BUMN, jangan justru sebaliknya menyusahkan atau malah merugikan.
Gunarwanto chartered accountant dan analis kebijakan publik
Simak juga Video Komisi VI dewan perwakilan rakyat Rapat Bareng Mensesneg-Menteri Hukum, Bahas RUU BUMN
uu bumnrevisi uu bumnHoegeng Awards 2025Baca dongeng inspiratif calon polisi pola di siniSelengkapnya